Pemberian gelar pahlawan perlu diredefinisi secara kontekstual disesuaikan dengan konsep kekinian. Demikian dikatakan pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta atau UMY Achmad Nurmandi.
"Redefinisi perlu dilakukan karena tidak hanya orang yang berjasa secara perang fisik saja yang bisa dijadikan pahlawan, tapi juga yang memberikan kontribusinya terhadap bangsa, baik dalam bidang ekonomi, kesehatan, pemerintahan, pendidikan, maupun aspek lainnya," katanya di Yogyakarta.
Menurut Nurmandi, redefenisi itu bukan bermaksud untuk menafikan jasa para pahlawan prakemerdekaan yang berjuang melalui peperangan fisik, melainkan bangsa ini memang harus melihat konsep pahlawan dengan kaca mata kekinian.
"Dalam konteks itu, perlu ada kategorisasi pahlawan, yakni pahlawan prakemerdekaan dan pascakemerdekaan. Pahlawan pascakemerdekaan itulah yang ditipologikan menjadi pahlawan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan," katanya.
Contohnya, keberadaan dokter di Timika, Papua, yang hanya dibayar Rp 2.000 setiap kali memeriksa pasiennya. Dokter itu secara konkret terbukti berbakti dan berbagi kepada anak bangsa dan negara.
"Dokter itu meninggalkan kemewahan, materi, popularitas, dan kegemilangan dunia lainnya yang sebenarnya bisa didapatkan di kota besar," kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UMY itu.
Demikian juga dengan seorang elite yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, guru yang mengabdikan dirinya untuk kemajuan pendidikan demi meningkatkan kecerdasan bangsa di Indonesia seperti yang termaktub pada Pembukaan UUD 1945, dan pengusaha yang membuka lapangan kerja yang luas bagi masyarakat.
"Bangsa ini melalui pemerintah sudah saatnya menghargai jasa-jasa rakyatnya melalui pengangkatan mereka sebagai pahlawan agar para pahlawan ’kekinian’ tersebut bisa menjadi motivator dan teladan bagi anak bangsa yang lain untuk kemajuan Indonesia," katanya.(artikel-kesehatan-online.blogspot.com)