Halaman

Kamis, 15 Juli 2010

Renungan Untuk Kita: Tuhan Telah Tiada

Tuhan telah tiada

Sore itu sangat cerah, angin mengalir menyeberangi penat hariku, menghibur dengan sapa khasnya dan bercerita tentang siluet dari arah senja memulai petualangan. Sesaat aku terbawa harmoni dan alunan senja, sampai pandangku melayang pada sosok kumal yang tengah bermain-main dengan kayu balok. Dia seakan sedang menimang sosok bayi. Ah… ternyata, dia seorang yang kurang beruntung yang dalam benaknya hanya terbayang balok kayu itu seorang bayi yang layak di gendong dan ditimang, aku menyimpulkan dia seorang yang mengalami gangguan mental.

Kesibukan analisaku terputus karena gema Adzan berkumandang, kewajiban seorang muslim untuk segera memenuhi panggilannya. Bergegas langkahku, mengambil air wudlu. Ketika langkah hendak terayun memasuki Masjid, entah dari arah mana seseorang telah memegang tanganku, aku kaget. Seorang gadis kecil dengan rambut acak-acakan dan tangan kotor menarik tanganku sembari berkata “Mas, minta uangnya dong, aku belum makan, ibuku sakit”, Dalam hati terasa jengkel, orang sudah wudlu mau sholat, eh,,, giliran mau masuk masjid dimintai uang, pake pegang tangan lagi, inget mbah kyai harus wudlu lagi nih. “Dik aku ga bawa uang, mau sholat dulu ya”, sembari kutarik tanganku dari pegangan tangannya. Agak gak enak juga sih sebenarnya bilang seperti itu, tapi udahlah, daripada telat sholatnya.

Setelah beberapa saat aku keluar masjid, tak lupa aku masukkan beberapa lembar ribuan ke kotak amal masjid. Penat karena kegiatan seharian seakan menghilang, dan aku berniat segera menuju rumah. Jalan depan masjid mulai remang, lampu-lampu jalanpun mulai menggantikan matahari yang lelah dan terbaring dibalik cakrawala. Langkahku kuayun melewati pagar masjid.

Tanpa sengaja telinga ini menangkap sepotong percakapan lirih, “Tuhan telah tiada, Tuhan telah meninggalkan hati orang-orang, bahkan yang begitu mengagungkanNya”. Sebuah percakapan yang datar, namun terasa bagai ledakan kompor gas 3 kilo gram. Langkah kakiku terasa tak kuasa aku gerakkan, dan leher seakan hilang tulang, tanpa kuasa aku kendalikan kepala dan pandangku tertuju pada dua orang sosok. Ternyata, dua orang itu adalah orang yang aku anggap gila dan gadis kecil yang menarik tanganku untuk minta uang.

Terlihat orang gila mengeluarkan bungkusan makanan dari kantong bajunya, sambil mengelus rambut gadis itu, nak, ndak usah nangis, ni aku beri nasi bungkusku, sekalian nanti tak kasih uang duaribu buat beli obat”, “eh mas…” (mendadak pandangan orang gila itu tertuju padaku). “Mas kamu juga belum makan? mau nasi ini? Beberapa detik pandangan kami bertemu, pandangan kosong, datar dari orang yang aku anggap gila tadi seakan terasa tajam, melebihi belati yang sesak menusuk jantungku.. Aku terdiam, tak ada sedikitpun daya. Semua rasaku hilang, dingin menerkam semua kesadaranku… Menggulung dan meluluh lantakkankan batinku tanpa sisa.

Ya Allah, betapa keangkuhanku, menutup hatiku
tuk membaca ayat-ayatmu,yang tersirat dari lakon hidup didepan mata.
Betapa tlah kau ciptakan
rangkaian hidup,
yang seharusnya hamba maknai tuk semakin mendekatkanku padaMu.
Dan aku tlah mengabaikannya…


sumber: