Halaman

Rabu, 30 September 2009

44 Tahun G-30S PKI, Antara Sebuah Fakta Atau Rekayasa






Film G30 S PKI, Fakta atau sebuah rekayasa sejarah?


Film G30 S PKI,
Fakta atau sebuah rekayasa sejarah?



Tepat hari ini
30 September  44 tahun yang lalu Indonesia diguncang suatu tragedi yang
sangat memilukan sejarah dan catatan perjalanan bangsa. Para Jendral dan
Petinggi Angkatan Darat saat itu dibunuh secara sadis dan tidak
berperikemanusiaan.



Hingga akhir
kekuasaan rezim Soeharto semua orang percaya bahwa semua itu adalah
perbuatan yang diotaki oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan di pelajaran
sejarah pun di catatkan kronologi menurut kepentingan penguasa saat itu.
Namun ketika orde reformasi dan tumbangnya rezim orde baru sepeninggal
Soeharto dimana kebebasan berbicara terbuka lebar mulailah terkuak satu
persatu kejanggalan skenario sejarah yang selama ini dicatatkan.



Dalam buku
Sejarah kelas 3 kurikulum 1994 ditulis bahwa PKI yang menjadi dalang
peristiwa Gerakan 30 September 1965. Dimana peristiwa itu mengigatkan kita
bahwa PKI selalu berusaha mencari kesempatan untuk melakukan Kudeta (perebutan
kekuasaan).



Dalam buku
tersebut juga disebutkan bahwa Aidit menugaskan Kamaruzaman alias Syam
sebagai Ketua Biro Khusus PKI untuk merancang dan mempersiapkan perebutan
kekuasaan. Kemudian biro ini melakukan pembinaan terhadap perwira-perwira
ABRI diantaranya adalah Brigjen Supardjo dan Letkol Untung dari TNI AD,
Kolonel Sunardi dari TNI AL dan Letkol Anwas dari Kepolisian. PKI menyadari
bahhwa hambatan untuk mencapai tujuannya adalah TNI AD. Oleh karena itu pada
tanggal 30 September 1965 sebelum subuh tanggal 1 Oktober 1965 upaya
penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira tinggi TNI AD dilancarkan.
Di buku tersebut juga dipaparkan bahwa penumpasan pemberontakan G30S/PKI
dilakukan oleh ABRI dan rakyat yang setia kepada Pancasila. Mayjen Soeharto
sebagai Panglima Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat) mengambil
langkah-langkah untuk memulihkan kembali keadaan.






Pengambilan jenasah para Jenderal AD di Lubang Buaya


Pengambilan
jenasah para Jenderal AD di Lubang Buaya



Kebutuhan akan
rekonstruksi sejarah, yang terasa berkenaan dengan tumbuhnya kebingungan
masyarakat awam mengenai sejarah G30S/PKI seperti yang telah mencuat melalui
media massa. Ironisnya hampir seluruh informasi baru diekspos oleh media
tersebut bertolak belakang dengan buku SMP kelas 3 1994. Pemaparan baru
fakta dan opini dibalik G30S/PKI itu pada pokoknya ingin mengubah peran dan
posisi Jendral Soeharto terhadap G30S/PKI yakni pemberantas yang cekatan dan
jitu menjadi terlibat atau tersangka.



Adapun pemaparan
baru tentang fakta dan opini di balik G30S/PKI itu, ingin merubah total
peran dan posisi Soeharto terhadap G30S/PKI yakni sebagai sebagai
pemberantas yang cekatan dan jitu mejadi terlibat atau tersangka.




Fakta-fakta
tersebut antara lain:


1. Pengakuan Kol.
A. Latief (gembong PKI) bahwa dua kali ia memberitahukan kepada Soeharto
tentang rencana penindakan terhadap sejumlah jendral. Dalam bahasa laten
menghadapkan Dewan Jendral kepada Presiden. Namun Soeharto yang pada saat
itu Panglima Kostrad tidak mengambil inisiatif melapor kepada atasannya. Dia
diam saja dan hanya manggut-manggut mendengar laporan itu. Latief
menginformasikan rencana penindakan terhadap pera Jendral itu dua hari dan
enam sebelum hari H.



2. Fakta bahwa
sebagai perwira tinggi dengan fungsi pemandu di bawah Pangab Jendral A. Yani,
Soeharto tidak termasuk sasaran G30S/PKI. Ini bisa dipertanyakan, mengingat
strategisnya posisi Kostrad apabila Negara dalam keadaan bahaya. Kalau betul
Soeharto tidak berada dalam Inner Cycle gerakan, kemungkinan besar ia
termasuk dalam daftar korban yang dihabisi di malam tersebut.



3. Hubungan
emosional cukup dan amat dekat Soeharto dengan para pelaku PKI yakni Untung
dan Latief sedangkan Sjam termasuk kolega Soeharto di tahun-tahun sesudah
Proklamasi.



4. Menurut
penuturan Mayjen (Purn) Mursjid, 30 September malam menjelang 1 Oktober 1965
itu pasukan Yon 530/Brawijaya berada di sekitar Monas. Padahal tugas
panggilan dari Pangkostrad Mayjen Soeharto adalah untuk defile 5 Oktober.



5. Mayjen (Purn)
Suharjo, mantan Pangdam Mulawarman yang sama-sama dalam tahanan dengan Mayor
(Purn) Soekardi, eks Wadan Yon 530/Brawijaya menceritakan bahwa surat
perintah dari Pangkostrad kepada DanYon 530 itu dalam rangka penugasan yang
disinggung Jendral Mursjid tadi, ternyata kemudian dibeli oleh Soeharto
seharga Rp 20 juta.



Ratna Sari Dewi
(mantan istri Bung Karo) pernah menyatakan: ?Sejak pagi 1 Oktober Soeharto
sudah propaganda bahwa pelakunya PKI sepertinya dia sudah tahu semua seakan
telah direncanakan. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana ia bisa menguasai
Indonesia? Harus diingat system komunikasi saat itu belum seperti sekarang.
Teleponnya belum lancar dan tak ada yang punya telepon genggam. Bagaimana
dia bisa memecahkan masalah yang terjadi pada malam 30 September dan segera
bertindak begitu cepat? Kalau belum tahu rencana G30S/PKI ia tidak mungkin
bisa melakukannya.?



Dari kutipan
buku Sejarah SMP kelas 3 tersebut diatas dengan pengakuan Ratna Sari Dewi
kita dapat menarik menarik kesimpulan bahwa Soeharto sudah mengetahui akan
terjadi gerakan 30 September yang dilakukan PKI.



Hal ini
dibuktikan, mengapa begitu cepat dia mengambil keputusan dan mengumumkan ke
seluruh rakyat Indonesia melalui RRI, bahwa telah terjadi peristiwa
penculikan oleh gerakan kontra Revolusioner yang menamakan dirinya G30S
padahal, alat komunikasi pada saat itu belum secanggih sekarang.



Fakta-fakta lain
yang mampu mengungkap kebenaran ini tidak hanya sebatas fakta internal.
Lebih dari itu kebenaran yang mulai terkuak mengejutkan masyarakat awam
adalah ternayata Soeharto juga mempunyai hubungan dengan CIA. Hal ini
terbukti dengan adanya satu kompi batalyon 454 Diponegoro Jawa Tengah dan
satu kompi batalyon 530 Brawijaya Jawa Timur, yang secara terselubung
digunakan Soeharto sebagai penggerak.



Soeharto
disebut-sebut terlibat dalam peristiwa tragis itu. Oleh saksi dan sejumlah
pelaku sejarah , serta sejarawan, dikatakan Soeharto mengetahui rencana
penculikan para jenderal tapi tidak berusaha mencegahnya. Itulah salah satu
titik kontroversi G30S. Buku yang terbit pertama kali pada 1999 ini
menyebutkan ada enam titik kontroversi (hlm. 6-9).



Pertama, siapa
dalang gerakan 1 Oktober 1965?

Kedua, mengapa Mayjen Soeharto menghalangi Mayjen Pranoto Reksosamodro
menghadap Presiden Soekarno untuk didaulat menjadi Men/Pangad, jabatan yang
ditinggalkan Letjen Ahmad Yani?

Ketiga, mengapa Soeharto seolah-olah mengulur waktu untuk merebut Gedung RRI
dari tangan G30S?

Keempat, mengapa penggalian mayat para jenderal baru dilaksanakan pada 4
Oktober 1965, padahal lokasinya sudah diketahui pada 3 Oktober?

Kelima, adakah konspirasi antara Letkol Untung Syamsuri (pemimpin lapangan),
Kolonel Latief, Sjam Kamaruzzaman, dan Mayjen Soeharto? Keenam, mengapa
Ketua Partai Komunis Indonesia, D.N. Aidit, dibunuh ketika dia tertangkap di
Boyolali, padahal kesaksiannya di pengadilan akan sangat membantu untuk
menyingkap tabir G30S yang sebenarnya? Yang menarik pada buku ini adalah
pengungkapan pertemuan Kolonel Latief dan Soeharto di RSAD Gatot Soebroto
beberapa jam menjelang penculikan para jenderal. Waktu itu anak Soeharto
yang berusia tiga tahun, Tommy, ketumpahan sup panas dan dilarikan ke rumah
sakit itu. Di sana pada sekitar pukul 21.00, Latief menemui Soeharto.
Menurut pengakuan Soeharto, dalam wawancara dengan surat kabar Del Spiegel
Jerman Barat pada Juni 1970, kedatangan Latief untuk membunuhnya. “Tapi,
nampaknya ia tidak melaksanakan berhubung kekhawatirannya melakukan di
tempat umum,” ujar Soeharto. Pengakuan Soeharto itu bertentangan dengan
jawaban yang diberikan kepada penulis bernama Brachman pada 1968, yang
mengatakan bahwa Kolonel Latief datang untuk menanyakan kesehatan anaknya.
“Saya terharu atas keprihatinannya,” kata Soeharto (hlm 18). Sementara itu,
Latief sendiri mengatakan: “Yang sebenarnya saya pada malam itu di samping
memang menengok putranda yang sedang terkena musibah itu, sekaligus saya
melaporkan akan diadakannya gerakan pada esok pagi harinya untuk
menggagalkan Coup d”Etat dari Dewan Jenderal, di mana beliau sudah tahu
sebelumnya.” (hlm 20). Buku ini juga mengungkap kesaksian Boengkoes, yang
muncul di media massa setelah Soeharto lengser.




















Boengkoes adalah
serma pelaku langsung G30S. Saat gerakan berlangsung ia mendapat tugas
menangkap Mayjen MT Haryono. Kesaksian Boengkoes dalam buku ini merupakan
kompilasi dari wawancara sejumlah media massa, setelah Boengkoes dibebaskan
dari LP Cipinang pada 25 Maret 1999. Salah satu poin kesaksiannya adalah
bahwa para jenderal itu tidak disiksa terlebih dahulu sebelum ditembak. Ini
sangat berbeda dengan yang digembar-gemborkan Orde Baru bahwa para jenderal
itu digambarkan disiksa bahkan dikatakan disayat-sayat, apalagi penis
dipotong. “Para jenderal itu dipapah sampai bibir sumur baru kemudian
ditembak,” ujarnya. Kesaksian Boengkoes mempertegas hasil Selain itu, kata
Boengkoes, “Dan tidak benar kalau ada pesta dan nyanyi-nyanyi (seperti film
tayangan TV).


Suasana saat itu
benar-benar sepi….” Masih ada sejumlah kesaksian pelaku sejarah mengenai
G30S, yang menarik untuk

diketahui sebagai perbandingan dengan sejarah G30S versi Orde Baru yang
tidak akurat atau sengaja dipalsukan.




source : ruang hati