Halaman

Selasa, 15 Desember 2009

Kopenhagen, dari Kota Berpolusi ke "Neutral Carbon City" (1)

KOPENHAGEN, KOMPAS.com — “Welcome to Climate Neutral Country”. Rangkaian kata-kata ini menyambut para penumpang kereta api yang tiba di Central Station Kobenhavn, Kopenhagen, Denmark, sehari menjelang pelaksanaan Konferensi PBB mengenai perubahan iklim, pekan lalu.

Kesempatan menjadi tuan rumah event terbesar PBB tahun ini tak disia-siakan oleh Pemerintah Denmark. Visi menjadi “Neutral Carbon Country” terus didengungkan. Bahkan, Gubernur Kopenhagen Ritt Bjerregaard dengan optimistis menyebutkan, Kopenhagen akan menjadi ibu kota negara pertama dengan tingkat karbon netral pada 2025.

Ritt menambahkan, para peserta COP-15 akan melihat bagaimana upaya yang dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan mimpi itu. Denmark sendiri menargetkan menjadi negara netral karbon pada 2050. Lalu, apa upaya yang bisa dijumpai di kota ini?

Transformasi transportasi

Soal transportasi mungkin bisa jadi satu contoh upaya serius Pemerintah Denmark menekan emisi karbon yang berasal dari kendaraan. Warga setempat lebih dari separuhnya menggunakan moda transportasi umum dan sepeda. Hanya sebagian yang dijumpai menggunakan kendaraan pribadi, seperi mobil dan motor. Bahkan, selama seminggu berada di kota pelabuhan ini, saya hanya sekali menemukan seorang pria yang mengendarai motor.

Menurut seorang arsitek, Jan Gehl, pendiri Gehl Architect, 40 tahun lalu, Kopenhagen merupakan kota yang sangat padat dan penuh polusi kendaraan bermotor. “Sangat ruwet, polusi, serta padat dengan motor dan mobil. Pembelian kendaraan di kota ini mencapai 2 juta unit setiap tahunnya dan jalan menjadi semakin kecil, terutama untuk para pejalan kaki,” kata Geh saat berbicara pada panel The World Culture-Future sebagai bagian dari side event COP-15 di Kopenhagen, Denmark.

Dikatakannya, transformasi ini salah satunya terjadi karena perubahan kultur masyarakat. Hal ini menjadi faktor penting perubahan Kopenhagen menjadi kota yang tertata, tertib, dan disiplin seperti saat ini. Apakah harus bermula dari perubahan kultur? “Jawabannya sederhana. Jika Anda membeli banyak mobil, Anda akan mendapatkan mobil. Jika Anda membeli banyak sepeda, Anda mendapatkan sepeda. Seperti yang saya lihat dalam 15 tahun, kultur modern mengubah pola pikir masyarakat.

Pada saat yang sama, masyarakat diajak untuk berperan aktif melakukan perubahan besar. Dalam hal ini, menurut Gehl, pendidikan menjadi faktor penting untuk mewujudkan visi Kopenhagen yang ramah lingkungan “Secara bertahap, kota (Kopenhagen) berhasil untuk bergerak maju ke tempat seperti sekarang ini daripada sekian tahun lalu. Sekarang bahkan ada royalti dan penghargaan bagi para pengguna sepeda,” ujarnya.

Seorang warga Kopenhagen yang dijumpai Kompas.com, Larssen (40), mengakui, seiring perjalanan waktu, jumlah pengguna sepeda dan angkutan umum di kotanya semakin bertambah. Ia juga melakukan hal yang sama. Menenteng sepedanya ke atas kereta api dan melanjutkan bike to work. Kebiasaan menggunakan sepeda sudah ditanamkan sejak dini kepada anak-anak.

Satu hal yang perlu menjadi catatan penting, mentransformasikan kultur masyarakat dalam bertransportasi juga menjadi efektif jika didukung dengan infrastruktur yang memadai. Jika diperhatikan, Pemerintah Denmark, khususnya Kopenhagen, sudah menyediakan infrastruktur yang luar biasa matang sehingga memberikan kenyamanan bagi masyarakat, apa pun moda transportasi yang digunakannya.

Sekretaris Jenderal International Association of Public Transport (UITP) Hans Rat mengatakan, kenyamanan pelayanan transportasi umum tak hanya terletak pada pembangunan fisik. “Masyarakat juga akan merasa nyaman jika disuguhkan dengan informasi yang memudahkan, misalnya jadwal, rute, dan tarif. Kenyamanan tak hanya terletak di fisik,” Kata Hans kepada Kompas.com dalam perjalanan KA Climate Express Brussels-Kopenhagen beberapa waktu lalu.

Merujuk pada pengalaman bertransportasi di Kopenhagen, unsur kenyamanan fisik dan informasi rasanya sudah terpenuhi. Di setiap area publik, tersedia maket ataupun buku saku yang akan memberikan petunjuk bagi siapa pun yang akan bepergian di negeri Hans Christian Andersen ini. Jadwal serta rute kereta api dan bus kota tertera di setiap titik tak jauh dari lampu lalu lintas atau tempat perhentian bus. Demikian pula di stasiun. Calon penumpang bisa melihat semua uruh rute dan titik penghentian kereta sehingga mudah dipahami. Tak perlu takut nyasar, apalagi tersesat.

Dukungan kebijakan pemerintah juga sangat dibutuhkan. Asal tahu saja, harga mobil di Denmark bisa dibilang “selangit”. Beberapa warga yang saya jumpai mengaku hanya mengandalkan sepeda dan moda transportasi umum, seperti kereta api dan bus kota. Dengan jujur mereka mengakui tak memiliki mobil di rumahnya. Selain alasan harga mobil yang mahal, untuk mendapatkan lisensi mengemudi juga mengeluarkan kocek yang tak sedikit. Karen dan Seigne, dua warga Kopenhagen, menyebutkan, untuk mendapatkan lisensi mengemudi dikenakan biaya antara 20.000 dan 50.000 kroner atau setara dengan Rp 40 juta-Rp 100 juta!

Semua upaya terpadu ini tentunya sejalan dengan misi besar pemerintah untuk mewujudkan Kopenhagen sebagai kota netral karbon. Upaya ini tak hanya disektor transportasi. Di berbagai sektor, seperti pengolahan sampah dan pembangunan gedung ramah lingkungan, juga tengah digalakkan. Seperti konsep yang tengah dirintis Denmark dalam hal properti dan pengelolaan sampah (kompas.com).