Jumat ini tepat pk. 15.00 waktu setempat, atau pk. 18.00 WIB, pesta sepakbola sejagat ini akan resmi dibuka di Stadion Soccer City di Johannesburg, Afrika Selatan. Begitu bintang pop asal Kolombia, Shakira, menjeritkan “Waka waka!” ... maka 32 tim terbaik dunia pun mulai bertarung untuk melesakkan si Jambulani, bola resmi Piala Dunia, ke gawang lawan.
Istimewanya, baru kali ini suatu negara di Afrika didaulat menjadi tuan rumah. Sebagai tuan rumah Piala Dunia yang ke-19, Afrika Selatan menjadi andalan untuk menaikkan derajat orang-orang Afrika, tempat yang selama ini lebih dikenal sebagai “benua miskin tempat orang-orang terbelakang yang suka berperang.”
Seperti rakyat Afrika Selatan dan kesebelasan Bafana-bafana yang akan berlaga di Piala Dunia, Presiden Jacob Zuma sudah diliputi antusiasme yang luar biasa menyambut hajatan besar di negaranya. “Kita kini siap mengagetkan dunia,” demikian tekad Zuma.
Vuvuzela
Sebagai bangsa pertama yang menyelenggarakan turnamen akbar ini di Benua Hitam, suporter Afrika Selatan tak mau kalah hiruk-pikuk dibanding penggila bola di negeri lain.
Pendukung Brasil, misalnya, selalu bangga memperagakan tarian Samba beserta dengan tetabuhan drum. Suporter Belanda pasti menyertakan grup pemain terompet atau saxophone untuk melantunkan irama jazz selama pertandingan berlangsung. Begitu pula dengan penonton asal Meksiko, yang berebut menjadi yang pertama saat membentuk Mexican Wave sambil berteriak dan menengadahkan tangan ke atas.
Afrika Selatan punya alat pemompa semangat yang unik. Alat itu bernama vuvuzela.
Ini adalah terompet khas orang Afrika. Satu vuvuzela mampu menghasilkan suara bergemuruh, apalagi kalau dibunyikan beramai-ramai. Seperti halnya beduk Samba maupun saxophone Belanda, vuvuzela bagi orang Afrika merupakan simbol kebanggaan dan persatuan.
Bagi orang Afrika, menonton sepakbola di stadion tanpa membunyikan vuvuzela ibarat menyantap makanan tanpa garam. Pertandingan jadi hambar dan penonton tidak bersemangat. “Tanpa vuvuzela, saya rasa kita tidak akan bisa menikmati sepakbola,” kata Said Maake, seorang fans Bafana-bafana seperti dikutip laman FIFA. “Alat itu membawa perasaan yang khusus ke penjuru stadion. Inilah yang membuat para fans terus mendukung tim mereka.”
Vuvuzela berbahan dasar tanduk antilop. Konon, menurut FIFA, pada zaman dulu alat tiup itu digunakan untuk memanggil warga untuk berkumpul.
Pendukung Bafana-bafana sudah terbiasa dengan keriuhan vuvuzela, namun tidak bagi para pendatang. Sejumlah kalangan, termasuk ofisial dari beberapa tim nasional, sudah jauh-jauh hari mengeluhkan vuvuzela. Mereka bahkan minta supaya instrumen itu diharamkan di stadion selama pertandingan berlangsung.
Vuvuzela dinilai bukan hanya dapat mengganggu konsentrasi lawan tanding Afrika Selatan, tapi juga bisa merusak indra pendengaran. Peringatan itu dirilis Yayasan Hear the World yang disponsori sebuah perusahaan alat bantu dengar. Dalam suatu uji coba, gemuruh alat itu konon sampai mengalahkan suara gergaji mesin.
Suara bising yang dihasilkan vuvuzela bisa mencapai 127 desibel (dB), di atas terompet udara (123,6 dB) dan drum Samba (122,2dB). Menurut penelitian Hear The World, manusia beresiko menderita gangguan pendengaran permanen bila mendengar suara bising berkekuatan 85dB selama jangka waktu tertentu. “Bila berada di dekat sumber suara berkekuatan 100 desibel atau lebih, gangguan pendengaran dapat terjadi hanya dalam jangka waktu 15 menit,” demikian peringatan Hear the World.
Vuvuzela pun dikhawatirkan mengganggu jalannya pertandingan. Soalnya, peluit wasit yang hanya berkekuatan 121,8 dB jelas tak akan mampu menyaingi ribuan terompet Afrika itu. Manajer tim pun harus tarik urat leher sekuat tenaga untuk memberi instruksi dari pinggir lapangan.
Keganasan vuvuzela telah dirasakan pelatih nasional Thailand, Bryan Robson, ketika meladeni tuan rumah Afrika Selatan dalam suatu pertandingan persahabatan Mei lalu. “Susah sekali menyampaikan pesan kepada para pemain. Ini yang perlu diperhatikan para pelatih,” kata Robson. Belum jelas apa ada korelasi langsung atau tidak, tapi yang jelas Thailand saat itu ditekuk Bafana Bafana dengan skor 0-4.
Toh, segala kritik itu ditampik Presiden FIFA, Sepp Blatter. “Vuvuzela, bersama dengan tetabuhan drum dan nyanyian, merupakan bagian dari budaya sepakbola Afrika. Jadi biarkan mereka meniupnya,” kata Blatter.
Lebih serius dari sekadar menggedor gendang telinga, Piala Dunia 2010 juga dikhawatirkan sebagian aktivis kesehatan karena hal lain. Menurut mereka ada yang lebih berbahaya ketimbang lengkingan vuvuzela: HIV/AIDS. Virus satu ini sejak lama menjadi momok yang menakutkan di Afrika, termasuk di penghujung selatan benua itu. Diprediksi, tidak sedikit suporter mancanegara yang datang tak hanya untuk menonton sepakbola. Di waktu senggang, mereka pasti mencari kegiatan yang tak kalah mengasyikkan: seks.
Padahal, hubungan seks bebas merupakan salah satu penyebab utama menjamurnya penyakit kekebalan tubuh yang hingga kini belum ada obat penyembuhnya itu.
Afrika Selatan sendiri sudah pusing dengan banyaknya warga yang terkena HIV/AIDS. Data dari laman lembaga Community Media Trust mengungkapkan bahwa satu dari lima orang dewasa di Afrika Selatan, atau sekitar 5,7 juta orang, sudah terinfeksi HIV/AIDS.
Itulah sebabnya, pemerintah langsung menyediakan puluhan juta kondom. Departemen Kesehatan Afrika Selatan mengungkapkan mereka sudah menyiapakan lebih dari 71 juta kondom untuk didistribusikan.
Para pengelola penginapan dibekali karet pengaman itu. Karena itu, jangan heran jika begitu masuk kamar hotel, selain disuguhi air mineral dan sepiring buah segar, tamu juga disediakan kondom gratis. Hotel di Cape Town, misalnya, akan mendistribusikan 160 ribu kondom. Seperti dilansir laman Sport24, Departemen Kesehatan telah menyebar kondom di sekitar 100 hotel.
Program ini dilanjutkan dengan konseling besar-besaran dan tes HIV. Targetnya adalah 15 juta penduduk Afrika Selatan. Departemen Pariwisata Cape Town mempromosikan slogan “Main aman di Cape Town.” Sementara, jaringan hotel Southern Sun memasang billboard besar-besar bertuliskan: “Saya bertanggung jawab."
FIFA pun tidak tinggal diam. Bekerja sama dengan panitia dan sejumlah sponsor, FIFA mendirikan pos-pos konseling dan kampanye anti HIV/AIDS di semua stadion, termasuk di Zona Fans; tempat-tempat di mana digelar layar raksasa untuk menonton bareng di luar stadion. Di situ, kondom juga terserak-serak.
Jadi, di Afrika Selatan selama Piala Dunia 2010, penggila bola perlu baik-baik menjaga dua organ selain mata: telinga dan kelamin.
Waka waka...!