Meski kontroversial dan lemah, karya Atlantis Profesor Arysio Santo, The Lost Continent Finally Found, yang meyakinkan kepada dunia bahwa situs Atlantis berada di Indonesia, dapat menjadi salah satu penyemangat dan pintu masuk bagi anak bangsa untuk lebih mengetahui isi bumi nusantara.
Jaleswari Pramodhawardani selaku Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam diskusi panel bertajuk "Indonesia Asal Peradaban Dunia" yang digelar Yayasan Suluh Nusantara Bakti di Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (27/3) mengatakan bahwa pekerjaan bangsa Indonesia dewasa ini adalah menjawab tantangan bangsa kita ke depan dengan cara membangkitkan ke-Indonesia-an di tengah terpuruknya bangsa ini.
"Peradaban dunia yang berkembang dewasa ini berasal dari Atlantis yang secara geografis berada di Indonesia. Tentu ini akan memutar balikkan sejarah Indonesia dan bahkan sejarah dunia dengan segala pola berfikir (mindset) disiplin ilmu yang mendukungnya,
Hal senada juga diungkapkan ahli geologi lingkungan, Oki Oktariadi yang mengatakan bahwa desain terhadap hipotesis penelusuran Atlantis yang telah dikembangkan pihak luar tersebut justru menjadi peluang penelitian baru bagi para peneliti Indonesia maupun luar negeri melalui wadah wisata ilmiah. "Peranan pemerintah sangat diharapkan untuk mendorong dan memfasilitasi pengungkapan Benua Atlantis yang hilang. Paling tidak peranan instansi tersebut dapat memperoleh temuan-temuan awal yang mampu mengundang minat penelitian dunia untuk melakukan riset yang komprehensif dan berkesinambungan,
Untuk diketahui, setelah lebih dari 30 tahun melakukan riset, Profesor Santos dengan reputasi akademis yang tidak perlu diragukan lagi dalam karya The Lost Continent Finally Found, menyimpulkan bahwa Benua Atlantis yang hilang itu tenggelam di wilayah Nusantara hingga menyisakan puncak-puncak yang membentuk pulau-pulau dalam sabuk gunung api. Beribu-ribu tahun yang silam, lokasi tempat dimana daratan luas itu tenggelam disebut Ultima Thule, batas yang tidak mungkin dilewati.
Pontjo Sutowo selaku Ketua Pembina Yayasan Suluh Nusantara Bakti berharap agar diskusi panel tersebut tidka hanya menjadi wacana didalam ruang diskusi saja tapi dapat mengguah keingintahuan masyarakat terutama kaum terpekajar akan pentingnya peradaban dalam pembangunan bangsa.
"Bangsa Indonesia memiliki kekayaan yang luar baisa baik darat maupun dari laut. Bahkan kita bagian dari benua Atlantis yang tenggelam telah memiliki kemudahan akan pengelolahannya dibandingkan negara lain. Peluang ini merupakan potensi dan keunggulan bangsa kita untuk merintis dan memelopori budi daya laut kembali serta mengembangkan budaya bahari bagi kehidupan manusia," terangnya.
Peta dugaan kota Atlantis di Indonesia (Google map/NASA)
"ATLANTIS adalah legenda, Atlantis adalah misteri, dan Atlantis selalu mengundang pertanyaan. Benua yang disebut sebagai taman eden atau surga itu diyakini menjadi pusat peradaban dunia pada zaman es."
Meskipun manusia sudah mencari sisa-sisa keberadaan kota ini selama ratusan tahun dan lebih dari 5.000 buku mengenai Atlantis diterbitkan, tidak ada satu pun yang bisa memastikan di mana sebenarnya Atlantis berada dan benarkah Atlantis itu memang ada atau hanya dongeng yang dikisahkan filsuf Yunani, Plato. Ratusan ekspedisi yang menjelajahi Siprus, Afrika, Laut Mediterania, Amerika Selatan, Kepulauan Karibia hingga Mesir untuk mencari jejak Atlantis pun belum memperoleh bukti valid di mana surga Atlantis berada.
Setelah puluhan wilayah sebelumnya tidak juga memberi bukti valid, Indonesia kini disebut-sebut sebagai tempat Atlantis sesungguhnya, sebuah surga dunia yang tenggelam dalam waktu sehari semalam. Di antara begitu banyak pakar yang meyakini Atlantis berada di Indonesia adalah Profesor Arysio Santos. Geolog dan fisikawan nuklir asal Brasil ini melakukan penelitian selama 30 tahun untuk meneliti keberadaan Atlantis. Lewat bukunya, Atlantis: The Lost Continent Finally Found, Santos memberikan sejumlah paparan serta analisisnya. Santos menelusur lokasi Atlantis berdasarkan pendekatan ilmu geologi, astronomi, paleontologi, arkeologi, linguistik, etnologi, dan comparative mythology.
Menurut Santos, tidak kunjung ditemukannya jejak Atlantis karena orang-orang mencari di tempat yang salah. Mereka seharusnya mencari lokasi tersebut di Indonesia karena berbagai bukti yang kuat mendukung hal tersebut. Pendapat Santos ini memang masih diperdebatkan mengingat hingga kini belum ada ekspedisi khusus untuk mencari lokasi Atlantis di kepuluan Indonesia. Dalam keyakinan Santos, Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan dari India bagian selatan, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Paparan Sunda.
Santos meyakini benua menghilang akibat letusan beberapa gunung berapi yang terjadi bersamaan pada akhir zaman es sekira 11.600 tahun lalu. Di antara gunung besar yang meletus zaman itu adalah Gunung Krakatau Purba (induk Gunung Krakatau yang meletus pada 1883) yang konon letusannya sanggup menggelapkan seluruh dunia. Letusan gunung berapi yang terjadi bersamaan ini menimbulkan gempa, pencairan es, banjir, serta gelombang tsunami sangat besar. Saat gunung berapi itu meletus, ledakannya membuka Selat Sunda. Peristiwa itu juga mengakibatkan tenggelamnya sebagian permukaan bumi yang kemudian disebut Atlantis.
Bencana mahadahsyat ini juga mengakibatkan punahnya hampir 70 persen spesies mamalia yang hidup pada masa itu, termasuk manusia. Mereka yang selamat kemudian berpencar ke berbagai penjuru dunia dengan membawa peradaban mereka di wilayah baru. “Kemungkinan besar dua atau tiga spesies manusia seperti ‘hobbit’ yang baru-baru ini ditemukan di Pulau Flores musnah dalam waktu yang hampir sama,” tulis Santos. Sebelum terjadinya bencana banjir itu, beberapa wilayah Indonesia seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara diyakini masih menyatu dengan semenanjung Malaysia serta Benua Asia.
Berdasarkan cerita Plato, Atlantis merupakan negara makmur yang bermandi matahari sepanjang waktu. Dasar inilah yang menjadi salah satu teori Santos mengenai keberadaan Atlantis di Indonesia. Perlu dicatat bahwa Atlantis berjaya saat sebagian besar dunia masih diselimuti es di mana temperatur bumi kala itu diperkirakan lebih dingin 15 derajat Celsius daripada sekarang. Wilayah yang bermandi sinar matahari sepanjang waktu pastilah berada di garis khatulistiwa dan Indonesia memiliki prasyarat untuk itu. Dalam cerita yang dituturkan Plato, Atlantis juga digambarkan menjadi pusat peradaban dunia dari budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi, bahasa, dan lain-lain.
Plato juga menceritakan negara Atlantis yang kaya dengan bahan mineral serta memiliki sistem bercocok tanam yang sangat maju. Merujuk cerita Plato, wilayah Atlantis haruslah berada di daerah yang diyakini beriklim tropis yang memungkinkan adanya banyak bahan mineral dan pertanian yang maju karena sistem bercocok tanam yang maju hanya akan tumbuh di daerah yang didukung iklim yang tepat seperti iklim tropis. Kekayaan Indonesia termasuk rempah-rempah menjadi kemungkinan lain akan keberadaan Atlantis di wilayah Nusantara ini. Kemasyhuran Indonesia sebagai surga rempah dan mineral bahkan kemudian dicari-cari Dunia Barat.
Menurut Santos, pulau-pulau di Indonesia yang mencapai ribuan itu merupakan puncak-puncak gunung dan dataran-dataran tinggi benua Atlantis yang dulu tenggelam. Satu hal yang ditekankan Santos adalah banyak peneliti selama ini terkecoh dengan nama Atlantis. Mereka melihat kedekatan nama Atlantis dengan Samudera Atlantik yang terletak di antara Eropa, Amerika dan Afrika. Padahal pada masa kuno hingga era Christoper Columbus atau sebelum ditemukannya Benua Amerika, Samudra Atlantik yang dimaksud adalah terusan Samudra Pasifik dan Hindia.
Sekali lagi Indonesia memiliki syarat untuk itu karena Indonesia berada di antara dua samudera tersebut. Jika terdapat begitu banyak kemungkinan Indonesia menjadi lokasi sesungguhnya Atlantis lalu, mengapa selama ini nama Indonesia jarang disebut-sebut dalam referensi Atlantis? Santos menilai keengganan Dunia Barat melakukan ekspedisi ataupun mengakui Indonesia sebagai wilayah Atlantis adalah karena hal itu akan mengubah catatan sejarah tentang siapa penemu perdaban. Dengan adanya sejumlah bukti mengenai keberadaan Atlantis di Indonesia maka teori yang mengatakan Barat sebagai penemu dan pusat peradaban dunia akan hancur.
“Kenyataan Atlantis (berada di Indonesia) kemungkinan besar akan mengakibatkan perlunya revisi besar-besaran dalam ilmu humaniora, seperti antropologi, sejarah, linguistik, arkelogi, evolusi, paleantropologi dan bahkan mungkin agama,” tulis Santos dalam bukunya. Selain Santos, banyak arkeolog Amerika Serikat yang juga meyakini Atlantis adalah sebuah pulau besar bernama Sunda Land yang luasnya dua kali negara India. Daratan itu kini tinggal Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Salah satu pulau di Indonesia yang kemungkinan bisa menjadi contoh terbaik dari keberadaan sisa-sisa Atlantis adalah Pulau Natuna, Riau.
Berdasarkan penelitian, gen yang dimiliki penduduk asli Natuna mirip dengan bangsa Austronesia tertua. Rumpun bangsa Austronesia yang menjadi cikal bakal bangsa-bangsa Asia merupakan sebuah fenomena besar dalam sejarah keberadaan manusia. Rumpun ini kini tersebar dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di Timur. Rumpun bangsa ini juga melahirkan 1.200 bahasa yang kini tersebar di berbagai belahan bumi dan dipakai lebih dari 300 juta orang. Yang menarik, 80 persen dari rumpun penutur bahasa Austronesia tinggal di Kepulauan Nusantara Indonesia. Namun, pendapat Santos dkk yang meyakini bahwa Atlantis berada di Indonesia ini masih harus dikaji karena kurang dilengkapi bukti-bukti.
Pakar Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Wahyu Hantoro mengatakan analisa Santos masih berupa hipotesa. Wahyu juga menilai pelu dijelaskan lebih lanjut kategorisasi jenis kebudayaan tinggi yang ada pada zaman Atlantis serta gelombang setinggi apa yang bisa membuat Paparan Sunda terbelah.
Atlantis telah memikat banyak peneliti dan mengilhami para seniman dari berbagai zaman. Misalnya saja Francis Bacon dengan esainya The New Atlantis (1627), Isaac Newton yang mengkaji beragam mitologi yang berkaitan dengan Atlantis (The Chronology of the Ancient Kingdoms Amended, 1728), ilmuwan Nazi Heinrich Himmler yang mencari moyangnya hingga ke Tibet pada 1938, hingga Walt Disney dengan animasinya Atlantis: The Lost Empire (2001).
Sejak pertama kali diungkapkan oleh filsuf Yunani, Plato (429–347 Sebelum Masehi), pada sekitar 2.460 tahun yang lalu dalam karya dialoginya Timaeus dan Critias, Atlantis tetap menjadi misteri. Apakah Atlantis itu memang ada atau hanya negeri rekaan Plato belaka?
Arysio Nunes do Santos melalui bukunya, Atlantis: The Lost Continent Finally Found – The Definitive Localization of Plato's Lost Civilization - Indonesia Ternyata Tempat Lahir Peradaban Dunia, memastikan Atlantis bukan fiksi. Bahkan ia menyimpulkan bahwa lokasi benua yang hilang itu sesungguhnya berada di wilayah Indonesia.
Memang, sejak akhir abad ke-19, para peneliti membuat hipotesis lokasi Atlantis. Sedikitnya ada 30 lokasi tersebar di penjuru dunia yang mengklaim sebagai lokasi Atlantis. Di antaranya Siprus, Malta, Kreta, Santorini, dan Sisilia di dekat laut Mediterania. Lokasi lain adalah di kawasan Samudra Atlantik, seperti Kepulauan Canary dan Laut Utara, serta wilayah Segitiga Bermuda di kawasan Pasifik dan Paparan Sunda (Indonesia) di kawasan Samudra Hindia.
Santos sampai pada kesimpulan itu setelah mengkaji selama 30 tahun dengan mencocokkan ciri-ciri “pulau” (nesos) Atlantis yang diungkapkan Plato dengan kondisi Indonesia. Menurut Santos, tak kurang 30 kecocokan ciri antara Atlantis menurut Plato dan kondisi Indonesia.Misalnya, berada di wilayah tropis yang selalu panas meskipun di Zaman Es. Penuh dengan segala jenis keindahan dan kekayaan: daratan-daratan yang luas dan ladang-ladang yang indah, lembah dan gunung; batu permata dan berbagai jenis logam, kayu-kayu wangi, wewangian, dan bahan celup yang tinggi mutunya, sungai-sungai, danau-danau, dan irigasi yang melimpah; pertanian yang produktif dengan dua kali panen per tahun; istana bertabur emas, tembok perak, dan benteng; gajah dan segala jenis binatang buas.
Pengkajian Santos ini menggunakan pendekatan tradisi-tradisi suci, naskah kuno, dan mitos-mitos dari banyak bangsa, seperti Yunani, Romawi, Mesir, Mesopotamia, Funisia, India-Amerika, Hindu, Buddha, dan Yahudi-Kristen. Lalu, dia melakukan pelacakan ke belakang, mencari data ilmiah yang mendukung dan menjelaskan tradisi kuno tersebut.
Di sinilah persoalan muncul, data ilmiah yang menjadi rujukan Arysio ternyata dengan mudah dipatahkan oleh kalangan ilmuwan, misalnya dari disiplin arkeologi dan geologi. Seperti terungkap dalam acara seminar nasional bertajuk “Indonesia - Atlantis yang Sesungguhnya”, yang diselenggarakan penerbit Ufuk Publishing House di Museum Indonesia Taman Mini Indonesia Indonesia, 20 Februari lalu.
Harry Truman Simanjuntak, arkeolog dari LIPI, yang menjadi salah satu pembahas, mengatakan klaim Santos bahwa penduduk Paparan Sunda pada akhir zaman es (Pleistosen) memiliki peradaban yang tinggi tidak memiliki bukti. Pada periode 11.600 tahun yang lalu, kata Harry, ras yang menghuni wilayah ini adalah Australomelanesoid. Ia merupakan manusia modern awal yang menghuni gua-gua dan menggunakan perkakas dari batu serta hidup dari mengumpulkan dan meramu bahan makanan.
Sementara itu, menurut Santos, yang meyakini betul kebenaran Plato, orang Atlantis itu adalah induk dari semua peradaban di dunia. Ketika Paparan Sunda tenggelam, mereka yang selamat bermigrasi ke berbagai penjuru dunia, seperti ke Asia Tenggara, Cina, Polinesia, Amerika, dan Timur Dekat. Mereka sudah mampu bercocok tanam, mengolah bahan tambang menjadi logam mulia, dapat membangun istana, tembok, dan benteng, serta memiliki seni budaya yang tinggi.
Keraguan juga datang dari Awang H. Satyana, geolog senior di BP Migas. Menurut dia, klaim Santos bahwa Paparan Sunda (daratan yang menyatukan Sumatera, Jawa, Kalimantan) itu tenggelam karena letusan Gunung Krakatau yang mendatangkan tsunami setinggi 130 meter dan dan mencairkan es di kutub selatan juga tidak memiliki data ilmiah pendukung.
Letusan gunung, kata Awang, tidak mungkin melelehkan es di kutub. Malahan, yang paling mungkin adalah perubahan iklim seperti yang terjadi setelah Gunung Tambora meletus pada 1815. Abu yang dimuntahkan gunung itu sangat tebal sehingga menutupi atmosfer dan menghalangi sinar matahari. Akibatnya, suhu menjadi turun dan membuat iklim menjadi dingin, bahkan di Eropa kala itu ada julukan the year without summer.
Sementara itu, tidak ada publikasi penelitian yang mengkonfirmasi adanya letusan Krakatau pada 11.600 tahun yang lalu. Menurut Awang, letusan paling purba dari Krakatau yang terlacak oleh geologi saat ini adalah pada 416 Masehi.
Namun, dalam pandangan budayawan Radhar Panca Dahana, tesis Santos yang menyebutkan bangsa yang mendiami Paparan Sunda memiliki peradaban yang tinggi cukup masuk akal. Radhar mengutip pernyataan Nobelis Rabindranath Tagore, yang marah ketika ditawari melihat “Indonesos” atau India Jauh saat berkunjung ke Jawa pada 1920-an. Menurut Tagore, apa yang dilihatnya bukanlah India, melainkan Jawa yang jauh berbeda dari India.
Bukti bahwa nenek moyang kita adalah pelaut besar dan pembuat perahu yang hebat, kata Radhar, bisa dilihat pada relief di Candi Borobudur. Perahu bercadik yang tergambar di situ kemudian ditiru oleh bangsa Eropa. Pada seribu tahun yang lalu, kata Radhar, ras Austronesia mampu berlayar sampai ke Haiti di Pasifik.
Di balik kontroversinya, kehadiran buku yang diklaim penerbitnya sebagai nasional best seller (telah dicetak 10 ribu kopi) ini merupakan berkah bagi bangsa Indonesia. Betapa tidak, ini merupakan promosi gratis dari penulis asing atas keelokan, keunikan, dan kekayaan sumber daya alam, dan keberanekaan seni budaya Nusantara.
Selain itu, buku ini bisa menjadi aspirasi bagi pembaca Indonesia untuk berbangga akan Indonesia. Dari rasa cinta terhadap Tanah Air itu diharapkan tumbuh rasa memiliki, yang membangkitkan rasa ingin tahu yang mendalam mengenai asal-usul bangsa ini.
Santos juga mengundang para peneliti, para Atlantiolog, untuk menjadikan kawasan ini sebagai tempat penelitian. "Atlantis sampai saat ini tidak ditemukan karena mereka mencarinya di tempat yang salah," tulis Santos, yang wafat dua bulan setelah bukunya ini terbit pada 2005.