Pertanyaannya adalah: sejauh mana panas politik itu akan merambat? Akankah eskalasi politik meninggi setelah Tim 8 menyampaikan rekomendasi kasus Bibit dan Chandra itu kepada presiden?
Tentang kasus Century, sasaran tembak politik adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Wakil Presiden Budiono. Pertanyaannya adalah siapa yang punya kepentingan dengan sasaran tembak itu?
Bila kita mengikuti ‘arah angin’ pemberitaan media, maka nampaknya beragam motif telah bercampur aduk dalam politik hak angket itu. Pertama, adalah persaingan politik personal dalam lingkaran elit. Kedua, ada semacam ‘politik oposisi’ yang sedang tumbuh dalam parlemen, terutama dengan sponsor PDIP.
Ketiga, berbagai kepentingan lobi yang sekadar menunggangi isu ini demi keuntungan finansial atau transaksi kekuasaan. Itu adalah realitas politik parlemen.
Sementara itu, persepsi publik tentang kasus Bank Century telah bercampur dengan isu politik Pemilu lalu, sehingga presiden terpancing untuk berkomentar bahwa tidak ada dana Bank Century yang mengalir ke tim pemenangan presiden. Di sinilah pertanyaan publik merembet: mengapa presiden sangat cepat bereaksi terhadap isu itu, sementara dalam soal rekomendasi Tim 8 ia terkesan pasif?
Tampaknya Presiden semakin berada dalam posisi serba terdesak. Eskalasi kasus Century akan menyita 100 hari pertama kabinet. Ia berusaha mencari ‘jalan tengah’ yang memungkinkannya tidak membuat keputusan ‘berat sebelah’, tetapi tetap memenuhi kepentingan politiknya. Dalam kasus Tim 8, presiden baru memberi solusi pada poin rekomendasi yang paling moderat, yaitu poin Tim 8 yang mengusulkan pembentukan lembaga baru untuk menuntaskan reformasi hukum dan pemberantasan mafia peradilan.
Presiden mengalihkan usulan itu kepada UKP4, unit kerja presiden yang diketuai Kuntoro Mangkusubroto. Itu berarti tidak akan ada lembaga baru independen yang akan dibentuk untuk ‘membongkar mafia peradilan’ seperti yang direkomendasikan Tim 8.
Terhadap butir rekomendasi yang lebih mendesak, yaitu penghentian kasus Bibit dan Chandra dan penggantian pejabat-pejabat tinggi Polri dan Kejaksaan Agung, agaknya presiden masih berusaha mencari formula win-win solution. Sangat mungkin ia berharap bahwa para petinggi ‘yang dimaksud’ dapat mengundurkan diri dengan kesadaran sendiri, sehingga sebagai presiden ia terhindar dari kontroversi bila keputusan itu berasal darinya. Tipe kepemimpinan ini adalah khas presiden SBY, yaitu memperoleh hasil tanpa membuat keputusan kontroversi.
Kalau itu jalan pikirannya, maka sangat mungkin kasus Bibit-Chandra ini akan dihentikan (mengikuti opini publik dan Tim 8), tetapi tanpa ‘mempermalukan’ Polri dan Kejaksaan Agung. Skenario inilah yang maksimal dapat dipentaskan presiden.
Jadi, sangat mungkin Kejaksaan Agung akan menerima berkas kasus Bibit-Chandra, tetapi tidak akan melanjutkannya ke pengadilan dengan alasan ‘kepentingan umum’. Skenario ini dianggap mampu melayani tuntutan publik, sekaligus ‘menyelamatkan wajah Polri dan Kejaksaan Agung’.
Memang tetap ada masalah, yaitu bahwa kasus yang ‘dipetieskan’ oleh Kejaksaan Agung, tetap berstatus ‘kasus’. Artinya, kasus Bibit dan Chandra memang dinyatakan cukup bukti untuk dilimpahkan ke pengadilan, tetapi demi kepentingan umum, kasus itu ‘dipetieskan’. Formula hukum ini sebetulnya berarti: Bibit dan Chandra sudah dianggap melakukan kejahatan, tetapi Kejaksaan Agung tidak melimpahkan kasusnya ke Pengadilan. Hal ini berbeda bila kasus itu dihentikan pada tingkat penyidikan Polisi (SP3).
Pada tahap ini berarti kasus itu memang tidak cukup bukti untuk dituntut sebagai kejahatan. Tetapi bila opsi ini yang dipilih, itu berarti membuktikan bahwa sejak awal memang terjadi kriminalisasi kasus Bibit-Chandra.
Atau, adakah skenario lain yang sedang dipikirkan presiden? Kita masih menunggu suatu keputusan presiden yang adil secara etis, dan bukan sekadar keadilan yang politis!
Sumber : inilah.com