Siapakah Lien, Si Pencatut Nama SBY?
Umum 29-10-2009
Lien, kini menjadi perhatian masyarakat Indonesia, khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Soalnya, perempuan ini mencatut nama Presiden SBY dalam rekaman rekayasa kriminalisasi pimpinan KPKyang kini beredar luas. Dia juga terkesan sangat dekat dengan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga.
Entah siapa nama lengkap Lien. Di rekaman itu, tidak terdengar nama lengkap Lien. Namun, ada pihak yang menduga Lien bernama lengkap Ong Yulia Gunawan. Tapi, apakah Lien benar bernama lengkap Ong Yuliana Gunawan, masih belum jelas.
Dari transkrip rekaman penyadapan KPK yang beredar di kalangan wartawan, Lien menyatakan kalau SBY mendukung Abdul Hakim Ritonga. “Pokoke saiki (pokoknya sekarang) Pak SBY mendukung. SBY itu mendukung Ritonga lo,” ujar Lien saat berbicara dengan Anggodo Widjojo.
Anggodo Widjojo adalah adik buron KPK Anggoro Widjojo. Anggodo-lah yang melobi sejumlah pejabat Kejagung untuk membantu Anggoro yang tersandung kasus korupsi PT Masaro Radiokom yang tengah ditangani KPK. Anggodo memberikan uang kepada Ari Muladi untuk diberikan kepada oknum di KPK. Namun, uang itu entah ke mana, karena Ari mengaku tidak memberikan langsung kepada pimpinan KPK.
Pembicaraan Lien dengan Anggodo terjadi pada 6 Agustus 2009, saat Ritonga masih menjabat sebagai jaksa agung muda pidana umum (Jampidum). Ritonga kemudian dilantik sebagai Wakil Jaksa Agung pada 12 Agustus 2009.
Dalam transkip rekaman yang beredar, perbincangan Lien dan Anggodo menyiratkan hubungan yang khusus. Beberapa kali Lien menyebut Anggodo dengan panggilan ‘yang’, kemungkinan besar kependekan dari kata ’sayang’.
Siapa Lien? Kuasa hukum Anggodo, Bonaran Situmeang mengaku tidak tahu menahu soal identitas Lien. “Saya nggak kenal perempuan itu,” ujar Bonaran.
Apakah Lien itu merupakan istri Anggodo? Bonaran tidak secara tegas menjawabnya. Namun menurutnya, Anggodo sudah memiliki istri, anak bahkan cucu. Dari pemberitaan yang mencuat di media massa, nama istri Anggodo adalah Elly Widjojo. Nama Elly ini sempat muncul terkait kabar Anggodo memberi Mercedes Benz tipe S 300 kepada pejabat Kejagung. STNK mobil untuk suap itu disebut-sebut atas nama Elly.
Bila Anggodo sudah beristri, lalu siapakah Lien? Mengapa ia memanggil adik buron KPK itu dengan panggilan mesra, ‘yang’?
Bonaran menolak Lien merupakan wanita idaman lain Anggodo. “Masa kalau ada perempuan yang menelepon dibilang selingkuh. Misalnya ada yang telepon saya perempuan, padahal saya sudah punya istri, masa dibilang selingkuh?” jelas Bonaran.
Sebelum kasus rekayasa KPK, Kejagung pernah dibuat geger oleh Artalyta Suryani alias Ayin. Perempuan yang suka berdandan ini juga bisa bercakap akrab dengan pejabat Kejagung. Ia misalnya memanggil Jaksa Urip Tri Gunawan dengan panggilan mas.
Ayin kini telah mendekam di LP Pondok Bambu setelah pengadilan memvonisnya dengan hukuman 5 tahun penjara. Ia terbukti melakukan suap kepada Jaksa Urip untuk membereskan SP3 kasus Syamsul Nursalim. Sementara Jaksa Urip ponis 20 tahun penjara.
Selain menyeret pejabat Kejagung, Ayin juga diisukan memiliki hubungan dengan SBY. Foto SBY dan Ibu Ani menghadiri pernikahan anak Ayin di Surabaya pernah menjadi berita heboh. Istana tidak memberi jawaban tegas soal foto SBY dan Ayin ini.
“Presiden bisa saja mengenal banyak orang dan dikenal banyak orang. Tapi Presiden tidak bisa mengontrol perilaku setiap orang. Sama seperti saya dan Anda,” jawab Andi Mallarangeng, yang saat itu menjabat sebagai Jubir Presiden.
http://www.medanbisnisonline.com/200...atut-nama-sby/
Arsip TEMPO tahun 2003: Siapakah Anggoro Widjojo?
26/XXXII 25 Agustus 2003
'Kelompok Jimbaran' Jilid 2
Matali (Masyarakat Tionghoa Peduli) memang tak sering disebut. Tetapi yang terhimpun di organisasi ini bukanlah nama sembarangan. Di sana ada pengusaha kelas kakap di bidangnya. Ada Tong Djoe, "Raja Kapal" peraih Bintang Jasa Pratama dari Departemen Luar Negeri 1998; Sukanta Tanudjaja, pemilik PT Great River International Tbk., salah satu perusahaan pakaian jadi terbesar di Asia Tenggara; dan Anggoro Widjojo, pemilik Satelindo.
Selain mereka, juga tercantum nama yang pernah berurusan dengan BPPN. Sebut saja The Nin King, bos Grup Argo Manunggal, dan Budiono Widodo, pemilik PT Sumatera Timber Utama Damai, yang menguasai areal hak pengusahaan hutan di Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Juga ada Ted Sioeng. Dia dikenal sebagai pengusaha besar di Los Angeles, AS, dan bagian dari jaringan pengusaha Cina dengan Gedung Putih. Jaksa umum Janet Reno dan Kepala Biro Penyelidik Federal, menurut Washington Post terbitan 12 September 1997, pernah memeriksa dana US$ 250 ribu yang diberikan putri Ted kepada Komite Nasional Demokratik pada 1996. Sebelumnya, putri Ted juga pernah memberikan dana US$ 50 ribu kepada Partai Republik.
Dibandingkan dengan kelompok masyarakat Tionghoa yang pernah ada, kelompok Matali relatif cair. Maksudnya, seseorang yang bergabung dengan kelompok itu tak diharamkan berkiprah di kelompok lain. Karena itu, menurut Sheito Kobayashi, keturunan Cina-Jepang yang memiliki akses ke kelompok itu, orang seperti Eddy Lembong yang menjadi pendiri INTI bisa ikut membaur di Matali.
Kiprah Matali sejauh ini umumnya bergerak di bidang sosial, kesehatan, dan pendidikan. Mereka, misalnya, pernah melakukan perbaikan sarana sekolah, memberikan beasiswa, membagikan buku gratis, pengobatan gratis di seratus kelurahan di Jabotabek. Juga pernah membangun proyek permukiman untuk menampung penduduk korban pembongkaran bangunan liar di Kali Angke, serta pernah terlibat dalam pengadaan 50 ribu ton sembako bersama Panglima TNI dan Menteri Sosial.
Baru pada malam silaturahmi Matali dengan Hamzah Haz di Hotel Omni Batavia, 12 Mei lalu, mereka menyatakan kesiapannya untuk membantu kiprah Hamzah selaku wakil presiden. "Dengan ini kami juga bersedia membantu pendirian Wapres Centre," kata Budiono ketika itu.
Dari komitmen itulah program Wapres Centre (WC), seperti pengumpulan dana Rp 100 triliun hingga akhir tahun ini, bakal terpenuhi. Caranya, antara lain, lewat forum pertemuan para taipan Cina perantauan pada akhir Desember nanti.
Pengamat politik Arbi Sanit mengaku cemas dengan pola hubungan Hamzah dengan Matali. Sebab, langkah itu tak beda dengan yang pernah dilakukan Soeharto bersama konglomerat binaannya. Apalagi keberpihakan Hamzah dengan Matali adalah kaum pengusaha kecil dan menengah. Misi yang sebetulnya sama dengan yang pernah ditempuh "Kelompok Jimbaran" pada era Soeharto. Pada 1995 "Kelompok Jimbaran" mencanangkan niatnya untuk membantu pemerintah mengangkat nasib pengusaha lemah. Mereka antara lain Sudono Salim, Prajogo Pangestu, Aburizal Bakrie, Sofjan Wanandi, dan Sudwikatmono.
"Pola hubungan yang dikembangkan Hamzah-Matali saya kira sama saja dengan konsep Ali-Baba. Itulah yang menjatuhkan Soeharto kemudian. Tapi kok malah ditiru dan diulangi Hamzah," ujar Arbi Sanit.
http://majalah.tempointeraktif.com/i...S89985.id.html
-----------------
ternyata diatas cicak, buaya dan komodo ... rupanya ada Naga Sakti ...(kaskus.us)