Halaman

Jumat, 16 Oktober 2009

Kita masih punya satu lubang buaya lagi lho....


Lubang buaya yang satunya lagi ada di Dusun Krajan Desa Cemetuk Kecamatan Cluring, Banyuwangi, Jawa Timur. Di lubang buaya yang satu ini terdapat sebuah monumen yang di depannya berdiri patung burung garuda. Di sebelah kanannya berdiri sebuah dinding yang berukirkan relief yang menceritakan kekejaman PKI.



Di tempat inilah terjadi pembantaian 62 anggota Ansor dari Kecamatan Muncar pada tanggal 18 Oktober 1965. Menurut cerita, pada saat itu PKI mengundang para anggota Ansor tersebut untuk mengadakan pengajian bersama dan mereka disambut oleh para anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang menyaru sebagai fatayat NU. Para anggota Ansor tersebut tidak mengetahui adanya niat licik dari PKI, ternyata PKI telah meracuni hidangan yang akan mereka suguhkan kepada mereka. Setelah menyantap hidangan tersebut, akhirnya mereka sekarat dan saat itulah PKI membantai mereka yang sudah tidak berdaya lagi.

Setelah drama pembunuhan yang diskenariokan PKI itu sukses, semua mayat dibuang dan dikubur di dalam tiga lubang yang berbeda. Dua lubang berisi masing-masing 10 mayat dan yang terakhir berisi 42 mayat. Oleh karena itu lubang-lubang tersebut dijuluki ‘lubang buaya’.

Lubang ini gan, tempat buang mayat2nya. Sizenya yang jelas lebih gede daripada sumur maut yang di Jakarta






Testimoni Korban yang Selamat:

Liputan6.com, Surabaya: Sekitar 20 korban kekejaman Partai Komunis Indonesia di Jawa Timur kecewa dengan sejumlah kelompok yang membela keberadaan PKI dengan dalih meluruskan sejarah. Karenanya, Selasa (1/10) siang, mereka berkumpul di Surabaya, Jatim, untuk menuturkan pengalaman siksaan kekejaman PKI yang dialami sejak 1948 hingga 1968. Para korban itu adalah orang-orang yang mengalami penyiksaan di sejumlah daerah yang dikenal dengan peristiwa Madium (1948), peristiwa Cemedok Banyuwangi (1965), peristiwa Jengkol Kediri (1965) serta peristiwa Lingkar Selatan (1968).

Suwarno, misalnya. Mantan anggota barisan serba guna sebuah organisasi di Banyuwangi itu berharap peristiwa kekejaman PKI di Desa Cemedok, Kecamatan Celuring, Banyuwangi, bisa dicatat sejarah. Artinya, tambah dia, bukan hanya insiden di Lubang Buaya, Jakarta Timur, saja yang layak tercatat sejarah. Pasalnya, jumlah korban dalam peristiwa itu lebih banyak, yakni 50 lebih anggota banser yang diracuni dan dikubur hidup-hidup oleh Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).

Saksi lain bernama Ishak juga menuturkan, dirinya melihat ayahnya dibantai oleh anggota PKI dan baru ditemukan jasadnya sepekan kemudian. Sedangkan korban lainnya mengaku bahwa PKI selalu mengintimidasi guru Madrasah, mengambil paksa tanah milik Yayasan Islam dan para kiai serta sering membakar masjid. Itulah sebabnya, mereka berharap agar peristiwa sejarah itu benar-benar menjadi pelajaran dalam kehidupan berbangsa di masa mendatang.

Sementara di Jakarta, Presiden Megawati Sukarnoputri dan Wakil Presiden Hamzah Haz tak menghadiri upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Selasa pagi. Padahal, Presiden rencananya akan menjadi inspektur upacara. Namun dengan alasan tak jelas, rencana itu batal. Beredar kabar, lantaran Presiden urung menghadiri upacara, Wapres juga memutuskan untuk tak menghadiri peringatan itu. Sedangkan Ketua MPR Amien Rais tak hadir lantaran masih berada di Australia. Ini berbeda ketika Presiden Soeharto masih berkuasa. Soeharto tak pernah absen menjadi inspektur upacara dan pejabat negara yang hadir selalu lengkap.


source : kaskus